M A
K A L A H
Konseling
Lintas Budaya
“Pendekatan Etik Dan Emik Dalam
Konseling.
Etnosentrisme Dan Streotype”
BK
A/2016
OLEH
KELOMPOK 3
1.
BATRIK ANGGRAINI 16060001
2.
WIDYA
AGUSTIN 16060010
3.
RANI
I LLAHI 16060034
4.
REMI
NOVELIYTA 16060008
5.
WIKE
PUSPITA BELNI 14060023
DOSEN
PEMBIMBING
Mori
Dianto, M.Pd
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau
tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran
atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian,
sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan
menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan
oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering
diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang
kepada orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih tegas Matsumoto (1996)
mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai
seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
Etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat dunia melalui
filter budaya sendiri. Istilah ini sering dipandang negatif, yang
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain dengan cara di
luar latar belakang budaya anda sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Itu Pendekatan Etik dan Emik
dalam Konseling.
2. Apa Itu Etnosentris dan Stereotype.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengrtahui Apa Itu Pendekatan Etik dan Emik
dalam Konseling.
2. Untuk
Mengrtahui Apa Itu Etnosentris
dan Stereotype
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pendekatan
Etik dan Emik dalam Konseling
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi
yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view)
misalnya,mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut
pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut
pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Secara sangat sederhana emik mengacu
pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada
pandangan si pengamat.
pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan
menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan
oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa pengkonsepan
seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif
masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau
tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran
atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian
sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai
kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful).
Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran
sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya
apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap
sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya),
maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi
orang dari budaya lain.
Contoh kasus:pada sebuah fenomena masyarakat seperti
pengemis. bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau
sebuah keniscayaan, maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat,
manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban
kemiskinan struktural, dsb. anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir,
melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan
fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana
pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau
fenomenologis, pengemis adalah subjek. mereka adalah aktor kehidupan yang
memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. pandangan subjektif seperti
ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru
memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan
ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang
memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Etik mengcakup pada temuan-temuan
yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah
etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik
sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang
berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat
khas-budaya (culture-specific).
Karena implikasinya pada apa yang
kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat
(powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan
menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias
universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran
bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai
kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa
yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang
dari budaya lain.
Dalam konseling
lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan
menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan
perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas
kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya
tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti
mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor
menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur
kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor,
Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat
realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Secara sangat
sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan
etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam
hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku
kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang
yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang
mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan
dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji
dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Pada sebuah fenomena
masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah
fakta sosial atau sebuah
Contoh kasus:
keniscayaan. Maka
berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia
yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural,
dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut
pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya
berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya
sendiri.
Dalam pandangan emik
yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka
adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik.
Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif
yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban
kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai
entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka
rasakan dan alami sendiri.
Jika yang kita
ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu
ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita
anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari
budaya lain.
Secara sangat
sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor
terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor
terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan
konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling
dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien
seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah
bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien,
memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang
sifatnya keseluruhan(Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus
mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari
sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting
karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).
Ada banyak contoh etik
dan emik dalm psikologi lintas budaya. Bahkan barangkali bias dikatakan bahwa
tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin adalah untyk
memeriksa mana aspek-aspek perilaku manusia yang etik dan mana manusia yang
emik. Salah satu tujuan utama adalah untuk menyajikan berbagai contoh etik dan
emik yang diperoleh dari penelitian lintas budaya.
Emik dan Etik adalah dua macam sudut
pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu
sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang
berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena
dalam masyarakat.
2. Etnosentris dan Stereotype
Etnosentrisme
didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau
budayanya sendiri. etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang
lain yang tidak sekelompok. etnosentrisme cenderung memandang rendah
orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing.etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70).
Jelas sekali
bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan
budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai.
dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing
sebagai budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah
angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita
lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau
bertentangan dengan budaya kita. masing-masing budaya akan saling merendahkan
yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat
potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi
misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku
pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati
kebudayaan satu sama lain. adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling
benar sementara yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud
konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling
mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia
cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu
sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling
unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan
dengan orang barat. orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya
asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering
diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang
kepada orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih tegas Matsumoto (1996)
mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai
seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. beberapa contoh
stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat
pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. stereotip etnis Batak adalah keras
kepala dan maunya menang sendiri. stereotip orang Minang adalah pintar
berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.
Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok,
mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok
lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan
menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu,
sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon,
1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai
terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan
kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu
dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu
saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah
generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak.
Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki
kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus
terang. namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga
etnis jawa yang suka berterus terang.
Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui
bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip
(Brisslin,1993). misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah
dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun
dengan etnis Cina. stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah,
koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson
(2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara:
- Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
- Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
- Stereotip dapat menimbulkan kambing hitam.
- Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk
mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai
stereotip, yaitu:
- Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
- Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
- Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Kadang kita
tidak bisa memisahkan diri kita dari latar belakang dan bisa-bisa kultural kita
sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Resistensi ini adalah dasar dari
apa yang disebut sebagai etnosentrisme – cara pandang dan penafsiran perilaku
orang lain dari kaca mata kultural kita sendiri. Etnosentrisme juga
didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau
budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang
lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah
orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70)
Etnosentrisme
terkait erat dengan streotip. Streotip adalh sikap atau keyakinan yang baku (fixed) tentang orang-orang yang berasal
dari budaya lain. Streotip buada berasal dari fakta. Namun demikian,
streotipseringkali merupakan kombinasi antara fakta dan fiksi mengenai orang
dari kelompok budaya tertentu. Streotip bisa berguna dengan menjadi semacam
dasar untuk melakukan penelitian, evaluasi dan interaksi dengan orang dari
budaya. Namun streotip dapat menjadi berbahaya dan merusak bila kita
memegangnya dengan kaku dan menerapkannya secara pukul rata pada semua orang
dari latar belakang budaya tertentu tanpa menyadari kemungkinan adanya
kekeliruan pada dasar-dasar streotip tersebut maupun adanya perbedaan individual didalam sebuah
budaya.
Jelas sekali
bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan
budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai.
Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing
sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif
hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang
kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda
atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling
merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak,
sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang
sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus
terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan
menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah
yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya
berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah
saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia
cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu
sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling
unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan
dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya
asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
Stereotip tidak
memandang individu-individu dalam kelompok tersebut sebagai orang atau individu
yang unik. Contoh stereotip :
1. Laki-laki
berpikir logis
2. Wanita bersikap mental
3. Orang berkaca mata minus jenius
4. Orang batak kasar
5. Orang padang pelit
6. Orang jawa halus-pembawaan
Etik, emik,
etnosentrisme, dan streotip adalah konsep-konsep penting untuk dipelajari dan
diingat. Dalam mempelajari berbagai kemiripan dan perbedaan budaya, penting
untuk memiliki gambaran tentang hal-hal yang potensial menjadi jebakan. Tidak
perlu dikatan lagi bahwa membuat pernyataan nilai dan mempertahankan sikap
etnosentris tidaklah kondusif bagi kemajuan bidang ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti
pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau
sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat,
manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban
kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan
sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang
semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis
melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau
fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang
memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti
ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru
memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan
ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang
memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat dunia melalui
filter budaya sendiri. Istilah ini sering dipandang negatif, yang
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain dengan cara di
luar latar belakang budaya anda sendiri.
Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan.kritik dan masukan dari pembaca dapat
menambah kesempurnaan dari makalah ini.mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto,
David. 1994. Pengantar psikologi lintas budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Irawanto, Budi. 2007. Riset
Etnografi. Slide Kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Jurusan
Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar